Peretasan JCW terhadap Kasus Dugaan Korupsi Pemilik Gedung Empire Palace Senilai Rp 200 Miliar

by -330 Views
Berita
JCW Sangsi Penghentian Kasus Dugaan Korupsi  Bos Pemilik Gedung Empire Palace Senilai Rp 200 Miliar

Sigit Imam Basuki, Ketua JCW (Java Corruption Watch) Sidoarjo. (Foto: Amrizal/Suara Indonesia)

SUARA INDONESIA, SIDOARJO – Kasus dugaan korupsi terkait refinancing kredit PT Bank Tabungan Negara (BTN) (Persero) Tbk, terhadap PT Blauran Cahaya Mulia (BCM) senilai Rp 200 miliar, saat ini masih menjadi ganjalan akan proses hukum terkait penanganannya.

Menyoroti hal tersebut, Sigit Imam Basuki, Ketua Umum Java Corruption Watch (JCW) Sidoarjo, mengaku khawatir tentang mudahnya Kejaksaan Negeri (Kejari) Sidoarjo dalam menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tersebut.

Hal ini menunjukkan adanya kekhawatiran akan keberlangsungan proses hukum dan keadilan dalam penanganan kasus korupsi tersebut.

Sigit mengatakan, awalnya dirinya mengapresiasi atas langkah tim Kejari Sidoarjo melakukan rillis, pada Kamis 21 Juli 2022, melalui awak media terkait kredit macet Rp 200 miliar tersebut.

Namun betapa kagetnya, dia mengetahui jika kasus kakap yang menyeret nama Direktur PT BCM Trisulowati alias Chin-Chin dan Komisaris Utama, Gunawan Angka Widjadja, ternyata belakangan diketahui sudah berstatus SP3.

“Publik Sidoarjo tau siapa Chin-Chin, bos pemilik gedung mewah Empire Palace, bersama suaminya Gunawan Angka Widjadja,” ujar Sigit, Senin (1/4/2024).

Pasalnya, pengungkapan kasus kredit macet yang nilainya ratusan milliar tersebut jadi kejutan Kejari Sidoarjo.

Namun, menurut Sigit, hal ini mengisyaratkan kecurigaan terhadap kemungkinan adanya aroma praktik suap yang mempengaruhi keputusan SP3 dalam kasus tersebut.

“Seharusnya kasus tersebut masuk dalam penyelidikan jangan dinaikkan ke penyidikan kalau masih dalam pengumpulan bukti,” ungkapnya.

Jika sebuah kasus naik ke penyidikan dan kemudian dihentikan dengan SP3, itu bisa menimbulkan pertanyaan tentang profesionalisme penegakan hukum.

Namun, perlu juga dipertimbangkan bahwa ada proses hukum yang harus diikuti dan bukti yang harus dipertimbangkan oleh penyidik sebelum menetapkan tersangka atau menghentikan penyidikan.

Pasal 14 RUU Hukum Acara Pidana menyebutkan beberapa alasan di mana penyidik memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan.

Seperti prinsip ‘nebula in idem’ (tidak boleh menghukum ganda untuk perbuatan yang sama), lewatnya batas waktu, ketiadaan pengaduan pada tindak pidana aduan, dan jika undang-undang atau pasal yang menjadi dasar tuntutan sudah dicabut atau tidak memiliki kekuatan hukum berdasarkan putusan pengadilan.

Dalam konteks ini, jika penghentian penyidikan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum, maka hal tersebut merupakan bagian dari proses hukum yang wajar.

Namun, penghentian penyidikan yang tidak didasarkan pada alasan yang sah dapat menimbulkan pertanyaan tentang profesionalisme lembaga penegak hukum yang bersangkutan.

“Menurut kami atas dasar apa tim penyidik menghentikan SP3 kasus 200 miliar. Ingat bank BTN itu plat merah, jangan sampai negara dirugikan kembali oleh ulah oknum-oknum yang mengeruk demi keuntungan pribadi,” tegasnya.

Sigit, berkomitmen untuk mengawal kasus ini hingga dibawa ke pusat, khususnya kepada Jaksa Agung. Dia menekankan pentingnya transparansi dalam pemberantasan korupsi, terutama dalam kasus korupsi besar-besaran.

ST Burhanuddin, sebagai Jaksa Agung diharapkan mengetahui apa yang terjadi di daerah dan memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan secara adil dan tegas terhadap siapapun yang terlibat dalam tindak pidana korupsi, termasuk yang terkait dengan jumlah besar seperti kasus ini.

Dikutip dari Cakrawala.co, waktu itu Kajari Sidoarjo masih di jabat oleh Akhmad Muhdhor, tengah mengungkap kasus dugaan korupsi besar penyalahgunaan pemberian fasilitas kredit investasi refinancing oleh Bank BTN kepada PT BCM tahun 2014 sebesar Rp 200 Miliar.

Kajari Sidoarjo Akhmad Muhdhor menegaskan, kasus dugaan korupsi yang ditangani tersebut sudah masuk tahap penyidikan. “Sudah naik dari penyelidikan ke penyidikan,” ucapnya.

Ia menjelaskan kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit investasi refinancing oleh Bank BTN kepada PT BCM tahun 2014 sebesar Rp 200 Miliar diduga ada penyalahgunaan dalam pemberian kredit. “Dugaan pemberian kredit tidak sesuai ketentuan.

“Kredit seharusnya digunakan investasi, ternyata dalam proses pengunaannya untuk yang lain. Kegiatan pokoknya dalam pengajuan kredit telah selesai kegiatannya, diajukan kreditnya berarti kreditnya untuk apa. Ini yang masih kita dalami,” jelasnya.

Penyalahgunaan pemberian fasilitas kredit investasi refinancing oleh Bank BTN kepada PT BCM tahun 2014 sebesar Rp 200 Miliar saat ini masih penyidikan umum. “Masih penyidikan umum,” pungkasnya. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Amrizal Zulkarnain
Editor : Mahrus Sholih