Kontroversi RUU Pengendalian LSM di Peru. (VOA INDONESIA)
SUARAINDONESIA, JAKARTA – Peru tengah menjadi sorotan internasional setelah rancangan undang-undang (RUU) yang bertujuan untuk meningkatkan kontrol terhadap pendanaan organisasi nonpemerintah (LSM) mendapat kecaman dari Amerika Serikat, Uni Eropa, dan 14 negara lainnya. Perdana Menteri Peru, Gustavo Adrianzén, menanggapi kritik tersebut dengan menyebutnya sebagai “tidak tepat.” Kali ini, Suara Indonesia akan membahas secara mendalam latar belakang, isi, dan dampak dari RUU tersebut serta tanggapan internasional terhadapnya. Pada tanggal 10 Juni 2024, Komisi Hubungan Luar Negeri Kongres Peru menyetujui sebuah RUU yang diusulkan oleh Badan Kerja Sama Internasional Peru. RUU ini mengharuskan LSM yang melakukan “kegiatan politik” untuk mendaftarkan diri. Definisi “kegiatan politik” dalam konteks ini mencakup segala upaya untuk mengubah kebijakan publik nasional atau hasil pemilihan umum demi kepentingan entitas asing swasta. RUU ini mengklasifikasikan aktivitas politik oleh LSM sebagai pelanggaran serius yang dapat dihukum dengan denda lebih dari USD 600,000 atau bahkan pencabutan izin operasi. Aktivitas yang dimaksud meliputi penggunaan sumber daya kerja sama internasional untuk tindakan yang dianggap mengganggu ketertiban umum, properti publik atau pribadi, keamanan warga negara, pertahanan nasional, dan ketertiban dalam negeri. Kecaman internasional datang dalam bentuk pernyataan bersama yang dirilis oleh 16 kedutaan besar di Lima pada tanggal 10 Juni 2024. Negara-negara yang menandatangani pernyataan tersebut termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Austria, Belgia, Kanada, Finlandia, Prancis, Jerman, Irlandia, Belanda, Selandia Baru, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Inggris. Mereka menyatakan keprihatinan bahwa perubahan yang diusulkan dalam RUU ini akan membatasi kemampuan masyarakat sipil untuk beroperasi dalam lingkungan yang mendukung demokrasi yang inklusif, adil, stabil, dan sejahtera. Para kritikus berpendapat bahwa RUU ini adalah langkah mundur bagi kebebasan sipil dan hak asasi manusia di Peru. Mereka menekankan bahwa pemberdayaan masyarakat sipil adalah elemen kunci dalam melindungi hak-hak asasi manusia dan memenuhi kebutuhan warga negara. Perdana Menteri Gustavo Adrianzén, dalam sebuah konferensi pers pada 17 Juni 2024, menyatakan bahwa pernyataan bersama tersebut adalah “tidak tepat” karena RUU tersebut belum final dan masih harus diputuskan oleh Kongres penuh. Ia juga menegaskan bahwa keputusan ini belum definitif, sehingga reaksi dari negara-negara sahabat ini dianggap terlalu dini dan tidak tepat. Adrianzén juga menyinggung hubungan Peru dengan China, mengklaim bahwa investasi China tidak seharusnya menjadi sumber kekhawatiran bagi negara-negara Barat. Ia berpendapat bahwa Peru memiliki hak untuk mengejar investasi dari berbagai sumber tanpa harus menghadapi tekanan internasional. Jika disahkan, RUU ini akan memiliki dampak signifikan terhadap operasi LSM di Peru. LSM yang terlibat dalam advokasi kebijakan publik mungkin harus menyesuaikan strategi mereka atau menghadapi konsekuensi hukum yang berat. Ini juga dapat menyebabkan penurunan dukungan internasional dan pendanaan bagi LSM di Peru, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi proyek-proyek sosial dan kemanusiaan yang mereka jalankan. Kontroversi seputar RUU pengendalian LSM di Peru menunjukkan ketegangan antara upaya pemerintah untuk mengontrol pendanaan asing dan kebutuhan untuk melindungi ruang demokrasi yang inklusif dan operasional LSM. Tanggapan internasional yang keras mencerminkan kekhawatiran yang mendalam tentang masa depan kebebasan sipil di Peru. Pemerintah Peru diharapkan dapat mempertimbangkan kritik ini dengan serius dan mencari jalan tengah yang tidak merugikan pemberdayaan masyarakat sipil. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta: Redaksi
Editor: Mahrus Sholih