Gunawan
– 30 Mei 2024 | 11:05 – Dibaca 164 kali
Antrean truk pengangkut tebu sebelum masuk di stasiun giling PT GMM Blora, Rabu (29/5/2024). (Foto: Gunawan/Suara Indonesia)
SUARA INDONESIA, BLORA – Ketegangan hubungan antara Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Blora dengan Pabrik Gula (PG) PT. Gendhis Multi Manis (PT. GMM) di Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, memasuki babak baru.
Setelah beberapa waktu lalu, keluhan petani tebu soal harga rendemen tebu giling terjawab melalui audiens kedua belah pihak di DPRD Blora, hingga harga tebu merangkak naik tiga kali dalam sebulan, kini APTRI Blora tengah memperjuangkan pola kemitraan melalui Forum Temu Kemitraan (FTK).
“Kemitraan bersama PT GMM hendaknya bisa diwujudkan dan diamalkan, petani merasa punya pabrik dan sebaliknya PG Blora juga merasa membutuhkan petani,” kata Ketua DPC APTRI Blora, Sunoto, Rabu (28/5/2024).
Dalam keterangannya di ruang pertemuan PT GMM Blora, Sunoto mengatakan, APTRI bersama petani akan terus eksis, menanam, memupuk, seperti yang sudah direncanakan para pendahulu. “Apa yang sudah diprogramkan para pendahulu, nikmat manisnya gula benar-benar bisa dirasakan bersama. Bila tidak diwujudkan, tentunya kami merasa samar-samar,” terang dia.
Sehingga diharapkan, kemitraan dari pendahulu selalu tercipta hubungan simbiosis mutualisme, baik petani tebunya maupun pabrik gulanya dan saling menguntungkan. Dari hal inilah, kata Sunoto, nanti akan muncul kebersamaan, kemitraan, dan bila ada sesuatu hal segera berkomunikasi sesuai pertemuan (audiens) kemarin di DPRD Blora, apa yang belum tersampaikan dan belum terwujud segera ditindaklanjuti. “Kemitraan hubungan simbiosis mutualisme petani tebu dan pabrik gula GMM, semoga tercipta,” terangnya.
Selain itu, APTRI juga meminta PG GMM Blora agar menjembatani dan mengambil keputusan atas tuntutannya selama ini, standar kemitraan. “Ada standar kemitraan, APTRI dengan PG GMM Blora,” harapnya.
Di sisi lain pihaknya juga meminta kepada PG Blora utang petani tebu senilai Rp 4 miliar, agar ada program pemutihan. “Ini pengajuan, semoga ada program pemutihan bagi petani tebu,” imbuhnya.
Sementara itu, Sekretaris APTRI Blora Anton Sudibyo menyampaikan, awal berdiri PG ini, pihaknya tidaklah enak-enakan. Para petani berkumpul di 16 kecamatan dengan biaya seadanya dan swadaya.
Anton menyebut, dulu hanya ada 200 hektare lahan tebu hingga mencapai seribu, dua ribu dan sekarang sudah mencapai 4.000 hektare lebih lahan tebu. “Sedulur senyowo, guyub rukun. Inilah perjuangan kami. Tebu Blora kala itu memang sangat primadona,” ujar Anton.
“Anggaplah petani itu bolo ne dewe, mitranya PG GMM Blora, jangan hanya sebatas transaksi. Penataan kualitas yang ditingkatkan tentu akan memengaruhi nilai rendemennya sendiri,” sambungnya.
Sehingga, standar hubungan antara petani dengan pabrik gula yang pernah dijalankan di era Lie Kamajaya dan Rahmat Pambudi, selalu terjaga dan saling menguntungkan satu sama lainnya.
Kala itu hubungan petani dengan pabrik gula bisa sedulur senyowo. “Empat lima tahun belakangan, kemitraan itu belum berjalan maksimal di era saat ini,” ujarnya.
Ia juga berharap, PG GMM Blora bisa mengambil dan memaksimalkan kerja petani tebu di era era sebelumnya kembali yang sesuai diharapkan, tetap eksis dan bahkan hingga ratusan tahun lamanya seterusnya di kemudian hari. “Bila petani diajak sedulur senyowo, pasti akan mengikuti,” terangnya.
Direktur Operasional (Dirops) PT GMM Blora Krisna Murtiyanto mengatakan, beberapa hari lalu surat dari APTRI telah diterima, sehingga pihaknya diminta dirut bertemu dengan para petani tebu Blora hari ini. “Terbaik bagi petani Blora maupun dari luar Blora, harga tebu dapat bersaing sesuai yang diharapkan. Kami berupaya memberikan yang terbaik,” kata Krisna.
PT GMM Blora, dia menambahkan, tidak bisa memberikan harga sesuai yang diharapkan oleh APTRI Blora maupun teman-teman petani tebu. “Sesuai jumlah tebu ataupun rendemen yang ada, tentu kami ada penghitungannya tersendiri. Kami upayakan harga itu agar dapat mengikuti pasar dan menyesuaikan, kontinuitas, sehingga dapat menggiling tebu-tebu petani Blora di GMM,” ujarnya.
Untuk FTK, pihaknya mengatakan akan diupayakan selalu ada, namun kami menunggu apa yang akan dibahas bersama-sama. “Untuk bertemu misal dalam seminggu, sebulan ataupun dua minggu sekali, kami berupaya untuk dapat bersama-sama membahas dan menentukan langkah kedepannya, menunggu apa yang akan dibahas,” papar Krisna.
PT GMM Blora tetap di depan dalam membantu petani, minimal tebu-tebu yang ditanam bisa dikumpulkan, digiling, dengan harga yang sesuai diharapkan bersama dan tentunya untuk kesejahteraan para petani Blora dan teman-teman di PG Blora. “Petani sejahtera, pekerja GMM juga hal yang senada (sama),” terangnya.
Menanggapi jawaban tersebut, Anton mengatakan bahwa PT GMM Blora dengan APTRI harus membangun transparansi komunikasi agar standar kemitraan yang diperjuangkan selama ini sesuai yang diharapkan bersama.
Anton menilai jawaban PT GMM belum memuaskan dan terkesan ngeles. “Kami akan wadulkan ke Bupati Blora agar dapat bertemu dengan presiden terpilih Prabowo Subianto,” ungkap Anton.
Sebagai informasi tambahan, audiensi pada Rabu 22 Mei di ruang rapat DPRD yang dihadiri oleh jajaran pengurus APTRI Blora, manajer PG PT GMM Blora, berdampak positif. Harga beli tebu petani naik tiga kali dalam sebulan.
Awalnya Rp 670 per kilogram, menjadi Rp 690, kemudian naik lagi di harga Rp 700 per kilogramnya dan sekarang kembali naik menjadi Rp 720 per kilogram atau Rp. 72.000 per kuintal. Khusus untuk petani dari luar Blora, ada tambahan Rp 2.000 per kuintal. (*)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Gunawan |
Editor | : Mahrus Sholih |