Prabowo Subianto: Kebijakan Tetangga yang Baik

by -133 Views

Prabowo menunjukkan kekuatan dalam logika geopolitik. Dia mengawali paparannya dengan mengamati kembali posisi geografis Indonesia. Menurut Prabowo, Indonesia memiliki posisi geografis yang strategis dan keuntungan sebagai rute perdagangan internasional yang banyak dilalui.

Prabowo menekankan pentingnya bagi Indonesia untuk berperan sebagai tetangga yang baik bagi negara-negara di sekitarnya untuk memanfaatkan keuntungan tersebut. Dia juga memaparkan prinsip “seribu teman tidak cukup, satu musuh terlalu banyak” yang mencerminkan arah rencana strategi kebijakan luar negeri Indonesia.

Salah satu contoh keberhasilan negara-negara Timur dalam memerangi kemiskinan yang disebutkan oleh Prabowo adalah Tiongkok yang mampu mengurangi angka kemiskinannya dalam 50 tahun terakhir. Prabowo menegaskan pentingnya bagi Indonesia untuk melihat contoh kesuksesan dari negara-negara di luar Barat terkait upaya mereka dalam memberantas kemiskinan, dengan disesuaikan dengan kondisi Indonesia.

Prabowo menyatakan bahwa suksesnya Indonesia dalam menghapus kemiskinan dapat menjadi kunci meningkatkan peran Indonesia sebagai pemimpin di kawasan dan di dunia. Dia juga menegaskan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia akan berpegang pada prinsip bebas-aktif dan tetap menjadikan Indonesia sebagai negara non-blok dan non-terikat.

Prabowo juga meyakini peran Indonesia sebagai jembatan antara kekuatan-kekuatan besar. Dia menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dengan negara sahabat dan memperkuat kepemimpinan di kawasan. Prabowo juga berkomitmen untuk mempromosikan dialog, perdamaian, dan kompromi dalam kerja sama internasional.

Dalam kerja sama dengan negara-negara besar, Prabowo menjamin sikap non-terikat Indonesia akan diterjemahkan juga dalam keterbukaan untuk bekerja sama dengan pihak manapun yang sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia.

Poin penting lain yang disampaikan oleh Prabowo adalah adanya kesetaraan dalam hubungan antar-negara di berbagai isu. (SENOPATI)

Artikel ini disusun oleh Tim Riset Analisis Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi, Program Pascasarjana Hubungan Internasional, Universitas Indonesia